Pemilukada Cianjur dan Putusan MK Oleh : Wahyudin

Dalam konteks wewenang MK dalam penyelesaian PHPU Kada, terdapat dua pandangan yang selama ini berkembang. Pandangan pertama, salah satunya yang dianut mantan hakim MK HAS Natabaya, bahwa MK hanya berwenang memutus perkara dengan objek hukum “hasil penghitungan suara” sebagaimana dimaksud PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hal itu pun, hanya terhadap hasil penghitungan suara yang benar-benar mempengaruhi penentuan pasangan calon untuk masuk putaran kedua atau menjadi calon terpilih. Jika tidak berpengaruh siginifikan, maka MK tidak bewenang mengadili.Dalam konteks wewenang MK dalam penyelesaian PHPU Kada, terdapat dua pandangan yang selama ini berkembang. Pandangan pertama, salah satunya yang dianut mantan hakim MK HAS Natabaya, bahwa MK hanya berwenang memutus perkara dengan objek hukum “hasil penghitungan suara” sebagaimana dimaksud PMK Nomor 15 Tahun 2008. Hal itu pun, hanya terhadap hasil penghitungan suara yang benar-benar mempengaruhi penentuan pasangan calon untuk masuk putaran kedua atau menjadi calon terpilih. Jika tidak berpengaruh siginifikan, maka MK tidak bewenang mengadili.

Pandangan pertama ini, juga menafikan sikap MK yang dinilai sebagai “terobosan hukum” untuk menjadikan sejumlah alasan kualitatif seperti politik uang, mobilisasi PNS, pelanggaran DPT sebagai pintu masuk untuk disebut mempengaruhi penghitungan suara. Pendeknya, pemohon wajib membuktikan melalui penghitungan yang benar menurut pemohon bahwa penghitungan termohon salah. Tak ada urusan dengan hal-hal di luar itu. Barangkali itulah yang menjelaskan kenapa MK pada kepemimpinan sebelumnya tidak pernah merekomendasikan pembatalan pasangan calon atau pemilu ulang karena alasan-alasan non pemungutan suara.

Pandangan kedua, menyatakan bahwa MK dapat mempertimbangkan dan menilai apakah proses penyelenggaraan Pemilukada tersebut telah berlangsung sesuai dengan asas luber dan jurdil. Hal ini dapat dilihat apakah penyelenggaraan Pemilukada terdapat pelanggaran yang serius baik pelanggaran administrasi dan pidana yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif sehingga mempengaruhi hasil penghitungan suara.

Pandangan kedua inilah yang kini dianut oleh Mahkamah Konstitusi. Sikap MK itu tercermin dalam pendapat hukum MK dalam Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 ketika mengadili Pemilukada Provinsi Jawa Timur. Di halaman 128 putusan itu, MK menegaskan:

Mahkamah tidak boleh membiarkan aturanaturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice), karena fakta-fakta hukum sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf [3.20]sampai dengan paragraf [3.24] telah nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Di halaman yang sama MK menyatakan, satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria). Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Terlepas dari penanganan penegak hukum yang akan memproses semua tindak pidana dalam Pemilukada secara cepat dan fair untuk menjadi alat bukti dalam sengketa pemilukada di hadapan Mahkamah yang dalam pengalaman empiris Pemilukada tampaknya kurang efektif, maka Mahkamah memandang perlu menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan masif seperti perkara a quo.

Selanjutnya, memperkuat argumentasinya MK di halaman 129 menegaskan:
Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa.
Kendati demikian, MK menyadari bahwa yang dapat diadili MK adalah hasil penghitungan suara. Ini ditegaskan di halaman 129:

Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undang-undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan.

Hal ini, menurut MK, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,” Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Kemudian kedua ketentuan UUD 1945 tersebut dituangkan lagi ke dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.
(http://www.kpud-pacitankab.go.id)
Putusan Mk tentang Cianjur, yang dalam amar putusannya memerintahkan KPU cianjur untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di empat kecamatan, menoreh sejarah baru dalam dunia demokrasi di Indonesia sekaligus menyisakan teka-teki politik dan hukum bagi masyarakat Cianjur. Dosen Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, Yudi Junadi menilai bahwa putusan MK kontradiktif. Kontradiksi itu menunjukan sikap inkonsistensi MK dalam putusannya. Inkonsistensi MK tentu saja incompatibel dengan filosofis "demokrasi substantif" yang gencar dikampanyekan MK. "Seyogyanya MK tidak hanya mendasari putusannya semata mata pada demokrasi substantif yang abstrak. Selain akan menegasikan asas prinsip kepastian hukum sebagai pilar utama the rule of law, juga pada gilirannya akan menimbulkan anomali hukum dan ketidakadilan. Hal ini dapat merusak MK yang mengklaim sebagai " guardian of constutition," (PR KAMIS, 17/02/2011).
Beberapa kejanggalan saat berlangsungnya pembacaan putusan MK membuka benih kontroversi, misalnya saja jumlah hakim yang disebut diawal persidangan dan dibeberpa akhir pembacaan keputusan itu disebut sebanyak 8 orang tetapi kemudian dipenghujung pembacaan keputusan diralat oleh hakim yang lain menjadi 7 orang. Pada pembacaan keyakinannya hakim menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran secara Terstruktur Masif dan Sistematis secara sempurna, tetapi dalam putusannya hakim hanya mengabulkan sebagiannya dan hanya di empat kecamatan saja yang diperintahkan untuk pemungutas suara ulang, sebuah kejanggalan yang menurut hemat penulis MK telah memutus diluar yang dimohonkan.
Substansi dari empat gugatan pemohon yang dikabulkan MK dalam persidangan sebenarnya cukup memaknai apa yang disebut dengan terstruktur Masif dan Sistematis, karena objek yang menjadi bukti-bukti tersebut berasal dari berbagai kecamatan dan terjadi dihampir semua kecamatan, seperti pengumpulan DKM se-kab. Cianjur yang dilakukan disetiap kecamatan, pembagian baju batik ke setiap sekolah, RT/RW di seluruh sekolah, dan mobilisasi kepala dinas pendidikan disetiap kecamatan. Bukti visual yg terdapat dipersidangan memang hanya diambil di empat kecamatan, tetapi pelaku yang ada dalam visual terdiri dari orang-orang dari berbagai kecamatan. Inilah yang yang kemudian menjadi kontroversi antara pernyataan MK tentang keyakinan Terstruktur massif dan Sistematis secara sempurna dengan putusannya yang hanya memerintahkan pemungutan suara ulang hanya di empat kecamatan.

Keputusan MK apapun hasilnya tentu berangkat dari semangat proses demokrasi, dan itu semua sudah ditempuh para kandidat melalui jalur sesuai undang-undang, sekaligus meluruskan paradigma yang keliru tentang issue ketidakpusan salah satu calon menerima kekalahan. Bahkan sebaliknya proses MK adalah bagian dari pendidikan politik yang patut dicermati oleh para semua komponen masyarakat Cianjur .