HURA-HURA PEMILUKADA

Reformasi telah melahirkan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memperkuat tuntutan terhadap transparansi dan demokratisasi dalam proses politik. Kaum reformis menaruh harapan bahwa esok lusa dunia otoriter, dan kemunafikan terurai, tersingkap dan lenyap.


Reformasi telah melahirkan paradigma baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memperkuat tuntutan terhadap transparansi dan demokratisasi dalam proses politik. Kaum reformis menaruh harapan bahwa esok lusa dunia otoriter, dan kemunafikan terurai, tersingkap dan lenyap.
Pembaharuan Otonomi Daerah UU No. 22 Tahun 1999 oleh UU No. 32 Tahun 2004 telah mengubah paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Dengan demikian, kewenangan daerah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya menjadi semakin besar. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang isinya adalah sebagai berikut.
“Otonomi Daerah merupakan komitmen Reformasi dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis yang memberikan kewenangan luas ke daerah untuk mengembangkan daerahnya secara nyata dan bertanggung jawab secara profesional sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan keaneka ragaman daerah namun masih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Salah satu konsekuensi dari diberlakukannya Otonomi Daerah tersebut terjadinya perubahan dalam sistem proses pemilihan kepala daerah, dari tidak langsung menjadi langsung.
Pada UU sebelumnya yakni, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan acuan utama yang mengatur mekanisme hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah masa Orde Baru, termasuk proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan oleh DPRD secara penuh. berdasarkan undang-undang ini, rakyat hanya tinggal terima hasil pilihan para wakil rakyatnya tentang siapa kepala daerah yang mereka pilih.
Proses politik inilah yang kemudian menghasilkan ekses negatif dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Rakyat merasa tidak terwakili kepentingannya. Pilkada hanhya menjadi ladang emas para elit politik untuk kepentingan kelanggengan kedudukan dan pengaruhnya di daerah.
Penyikapan Masyarakat Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama "pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah". Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pemilukada langsung dilaksanakan diberbagai daerah. Dalam periode pertama ini sebahagian masyarakat sangat mengandalkan rasionalismenya dalam memilih, berharap bahwa pemimpin yang dipilihnya secara langsung dapat mengakomodir dan membela kepentingan masyarakat. Demikian juga dengan para calon kepala daerah, mereka memiliki semangat dan motif yang sebahagian besarnya berpihak kepada rakyat.
Proses pemilihan periode pertama sejak berlakunya UU Pemilukada langsung berjalan mendekati harapan semua pihak. Masyarakat menanti janji dan idealism pemimpin yang dipilihnya.
5 tahun keberlangsungan hasil pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi sebuah ujian yang melahirkan penyikapan berikutnya. Saat proses pemilihan langsung dibuka kembali, terjadi beberapa perubahan dan kemerosotan paradigma berfikir baik dimasyarakat maupun dikalangan para elite politik. Semua menjadi serba pragmatis, hasilnya proses politik bernama pemilukada menjadi sangat mahal dan kurang substantive. Hal tersebut dibuktikan dengan merajalelanya money politik, penyalahgunaan kewenangan (kekuasaan), ketidakjelasan netralitas penyelenggara pemilu dan menjamurnya pemikiran jangka pendek dikalangan masyarakat serta lunturnya rasinoalisme dan idealisme. Hal tersebut disebabkan oleh bebrapa hal, diantaranya : 1. prilaku kepala daerah yang korup dan tidak menyadari kekeliruannya, 2. Terabaikannya reformasi birokrasi dan 3. Konflik kepentingan.
Perbaiki Sistem
Paling tidak harus ada peninjauan terhadap system yang saat ini sedang dijalankan untuk membatasi atau mengantisipasi ruang-ruang yang akan melanggengkan ketidaksehatan proses pemilukada secara langsung, seperti pembatasan kewenangan kepala daerah, sehingga tertutup celah untuk penyalahgunaan kewenangannya sebagai kepala daerah yang juga sebagai calon kepala daera pada saat yang sama, pengaturan pintu masuk anggaran kampanye kepada para calon kepala daerah, sehingga tidak ada calon yang menumpang APBD untuk kepentingan kampanye, pembatasan jumlah anggaran; sebab ketika anggaran kampanye sudah tidak rasional, artinya ada indikasi tidak normal dalam penggunaan anggaran alias terindikasi money politik. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pendidikan Politik
Prilaku para elite politik dan para pimpinan baik dieksekutif maupun legislative langsung atau tidak langsung berdampak pendidikan bagi masyarakat yang kemudian akan melahirkan sikap dan karakter. Jika korupsi, kebal hokum, selalu mempersulit, tidak transfaran dan sejenisnya yang ditunjukan atau tidak ditunjukan tetapi tampak dimasarakat, maka masyarakat akan bersikap tidak peduli dengan proses politik yang demokratis ini.
Dengan demikian, pemimpin hasil pemilukada langsung yang dianggap lebih korup daripada pemimpin hasil pemilihan elite politik, sebenarnya keduanya bias dikatakan tidak ada hubungannya. Korup itu bukan karena proses pemilihannya tetapi karena prilaku yang dipilih dan yang memilihnya. Bupati yg menghabiskan uang sampai berpuluh-puluh milyar dan menang akan berupaya mengembalikan pengeluarannya, dan masyarakat yang tidak merasakan perhatian selama 5 tahun dari pemimpinnya, mereka akan mengambilnya disaat kampanye. Alhasil, pemilukada jadinya Cuma hura-hura politik.