PENGABDIAN dan "PENGABADIAN"

Politik dan kekuasaan adalah dua wilayah yang senantiasa memiliki suhu seiring, walaupun masih ada orang yang penasaran dari wilayah mana semua bias dimulai saat kita ingin menunjukan rasa tanggungjawab terhadap negeri ini yang selalu saja mendapat hantaman permasalahan multidimensional. Faktor kepemimpinan dalam sebuah masyarakat demokratis seharusnya mampu menjadi inspirasi dan motivator bagi rakyatnya dalam membangun sebuah kemajuan bersama, terbebas dari kepentingan sesaat yang biasanya muncul disaat pergantian kepemimpinan.

Politik dan kekuasaan adalah dua wilayah yang senantiasa memiliki suhu seiring, walaupun masih ada orang yang penasaran dari wilayah mana semua bias dimulai saat kita ingin menunjukan rasa tanggungjawab terhadap negeri ini yang selalu saja mendapat hantaman permasalahan multidimensional. Faktor kepemimpinan dalam sebuah masyarakat demokratis seharusnya mampu menjadi inspirasi dan motivator bagi rakyatnya dalam membangun sebuah kemajuan bersama, terbebas dari kepentingan sesaat yang biasanya muncul disaat pergantian kepemimpinan.
Lima tahun masa kerja presiden, gubernur dan bupati yang notabene mereka dipilih langsung oleh rakyatnya, waktu yang cukup untuk membuktikan keberpihakan pimpinan terhadap nasib masyarakatnya dengan mengkonsentrasikan seluruh perangkat pemerintahan guna membangun perekonomian, pendidikan politik, dan permasalahan social, mereka tidak harus lagi disibukan oleh kepentingan partai pengusung, jabatan partai dan sebangsanya, apalagi harus mengurusi posisinya sebagai ketua salah satu partai.
Fenomena kepala daerah yang menjadi pengurus partai telah mencedrai kepercayaan demokrasi dan mendidik masyarakat kepada fragmatisme politik, inilah yang kemudian menjadi cikal bakal hura-huranya sebuah perhelatan pemilihan umum, hasilnya adalah eporia kemenangan yang diwarnai dengan politik balas dendam dan politik balas jasa, substansi kepemimpinan menjauh yang ada tinggal "siapa dan dapat apa" akhirnya Negara harus selalu berulang mengeluarkan dana ratusan trilyun dengan mengatasnamakan "proses demokrasi" yang hanya dijadikan kepentingan untuk PENGABADIAN kekuasaan, bukan PENGABDIAN kekuasaan…
Bersambung…

POLITIK DALAM PANDANGAN ISLAM

Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “warga NU”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “warga NU”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?

Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara)
Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).

Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim
Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara. Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).