Kelangkaan Gas 3 Kg, Pemerintah Daerah dan DPRD Jangan Diam. Oleh: Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) Cianjur


Kewenangan untuk menetapkan harga Eceran Tertnggi (HET) gas elpiji 3 kg ada pada pemerintah pusat melalui kementrian ESDM, hal tersebut tertuang dalam permen no 28/2008, yaitu Rp. 4.250 per kg atau Rp. 12.750 unutk tabug isi 3 kg. Ketentuan tersebut sebagai penjabaran yang menegaskan atas pembatalan UU no 22 Tahun 2001 pasal 28 Ayat 2,oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa harga bahan bakar minyak dan harga gas tidak boleh diserahkan kepada mekanisme harga pasar sebab sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 yaitu, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UU tersebut sudah sangat baik, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk betul-betul mampu melakukan pengelolaan SDA demi kemakmuran rakyatnya, melindungi perekonomian dari sistem kapital dan liberal, serta berpihak pada masyarakat menegah bawah.
Tetapi apa yang terjadi saat ini. Dibeberapa daerah di Indonesia, yang salah satunya adalah di Cianjur, kelangkaan Gas elpiji 3 kg mulai dikeluhkan berbagai pihak, teutama masyarakat menengah bawah yang keseharian pencahariannya bergantung pada gas, ditambah ibu rumah tangga. Harga yang sudah ditetapkan Pemerintah seolah tak berarti apa-apa, sebab kenyataannya dilapangan merka harus mendapatkan gas dengan harga melebihi ketentuan., dari mulai rp. 15.000 sampai rp. 20.000, padahal biasanya mereka hanya membleli rp. 13 000 sampai 13.500. Dalam situasi yang sangat serius ini, dimana para Wakil Rakyat? Kemana Bupati?
Pemrintah Daerah memang tidak punya kewenangan untuk menaikan dan menurunkan harga gas 3 kg yang sudah melampau tinggi dipasaran, tetapi merka harus tetap melakukan pengawasan atau memonitor mulai agen, pangkalan bahkan sampai tingkat pengecer, Pemda dan DPRD harus peka dalam hal ini, tidak bias berdiam saja atau terlambat bergerak, mereka bias melakukan sidak, misalnya, atau bentuk-bentuk lain yang membuat semua pihak tidak melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat, jika terdapat agen atau pangkalan yang nakal, pemda bias mengeluarkan sanksi sebab terkait perizinan semua ada dalam wewnang Pemrintah Daerah. Dilain pihak juga harus ada tim yang melakukan penyelidikan terhadap proses regulasi pengiriman gas tersebut sehingga jangan sampai ada pihak-pihak tertentu memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi atau perusahaannya.
Pihak Vice President Corporate Communication Pertamina, Mochammad Harun, http://www.shnews.coSenin (21/5), ketika dituding bahwa Pertamina melakukan pembatasan atau pengurangan pemasokan, beliau membantah dan menegaskan bahwa, Pertamina pusat saat ini sedang menertibkan agen pengisian elpiji. Ditengarai banyak pangkalan yang mengambil elpiji dari beberapa agen untuk kemudian dilakukan pengoplosan. Pertanyaan kita dimana dan kemana gas 3 kg itu raibya?
Sekali lagi, pertanyaan di atas tidak akan pernah terjawab dan bahkan hanya akan menjadi semakin membingungkan masyarakat. Masyarakat sudah sangat kesulitan dan kelimpungan menghadapi kenaikan Sembilan bahan pokok, ditambah kesulitan mendapatkan gas elpiji, ini sudah sangat memprihatinkan. Karenanya semua pihak harus bekerjasama menangani masalah ini, terutama Pemerintah Daerah yang merupakan kepanjangan tangan Pemerintah Pusat harus turut mengamankan Peraturan Menteri tentang HET (Harga Eceran Tertinggi) jangan sampai penjual memasang tarip sekehendaknya, dan DPRD sebagai Wakil masyarakat seharusnya lebih sensitip terhadap situasi masyarkat yang saat ini kebingungan mendapatkan gas. Pihak pengusaha juga seharusnya lebih mempertimbangkan kemaslahatan kehidupan dimasyarakat ketimbang keuntungan pribadi, tidak karena beredar wacana Pemerintah yang akan menaikan gas elpiji sebesar 55 persen, lantas melakukan hal-hal seperti penimbunan yang berakibat menyulitkan dan menyengsarakan masyarakat.


Penulis : Ketua Jaringan Pengusaha Muslim (JPMI) Cianjur